Penulis: Umdah Aulia Rohmah, M.H., Editor: Aisyah Puan Maharani


Pernikahan beda agama merupakan fenomena yang cukup umum di Indonesia, sebuah negara yang kaya akan keragaman agama dan budaya. Perkawinan beda agama memang bukan hal baru. Namun setiap terjadi peristiwa perkawinan beda agama, selalu menimbulkan perdebatan di masyarakat. Perdebatan bukan semata-mata berdasarkan alasan teologis, tapi juga memicu diskusi regulasi. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengatur pernikahan antaragama dengan tujuan memfasilitasi harmoni sosial dan menghormati kebebasan beragama individu. Namun, implementasi regulasi tersebut masih dihadapkan pada berbagai tantangan.

Perkawinan beda agama bukan hanya tidak lazim tapi juga sudah menyimpang. Namun faktanya peristiwa tersebut tetap ada bahkan kian bertambah. Pelaku nikah bawah tangan terus memperjuangkan kehendaknya untuk tercatat secara resmi dalam dokumen kependudukan. Dulu pelaku perkawinan beda agama seolah berjuang sendiri meminta penetapan perkawinan ke Pengadilan untuk dilakukan pencatatan. Sekarang ada lembaga konsultan dan LSM yang membantu advokasi agar tercatat di dokumen kependudukan. Ada hakim yang mengabulkan, ada pula yang menolak. Ada kantor pencatatan sipil yang menerima, ada pula yang menolak. Lalu bagaimana hingga terjadi perbedaan penerapan hukum?

Landasan Konstitusional

Sebelum terbitnya Undang-undang Perkawinan (UUP) tahun 1974, perkawinan diatur dengan pelbagai regulasi. Hukum adat bagi WNI, hukum Islam bagi WNI yang beragama Islam, Ordonasi Pemerintah Hindia Belanda bagi WNI yang beragama Kristen, KUHPerdata bagi WNI keturunan Eropa dan Cina. Setelah terbitnya UUP 1974, maka semua regulasi tersebut dinyatakan tidak berlaku.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara. Dalam hal pernikahan, Pasal 28E Ayat (3) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agamanya serta kepercayaannya itu. Namun demikian, Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang sah, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

pada syarat sahnya perkawinan sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan, yakni:

  1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya; dan
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum terkait.

Adapun syarat sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing terkait hukum nikah beda agama.

Hukum Nikah Beda Agama Menurut Islam

Untuk penganut agama Islam, ada baiknya merujuk pada ‘ijtihad’ para ulama dan akademisi yang sudah tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 dan Pasal 44 yang melarang secara mutlak perkawinan Muslim dengan Non Muslimah maupun Muslimah dengan Non- Muslim. Demikian pula dengan Fatwa Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989 yang meyatakan perkawinan beda agama tidak sah. Pandangan serupa juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah ditahun 1989 dalam putusan Tarjih Muktamar ke-22 di Malang.

Dalam kajian fiqih Hanafi, Maliki dan Hambali memang terdapat kebolehan seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 5. Namun menurut kalangan madzhab Syafi’i, wanita Ahli Kitab yang dimaksud adalah yang beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturukannya. Prof. Quraish Shihab juga menjelaskan adanya kebolehan Muslim menikah dengan Ahli Kitab tapi tidak sebaliknya. Namun ia sepakat dengan Buya Hamka untuk menikah seorang Muslim menikah dengan Muslimah.

Mengenai hukum pernikahan beda agama, dalam ajaran Islam wanita maupun laki-laki tidak boleh menikah dengan yang tidak beragama Islam (Q.S. Al Baqarah [2]: 221).

Kemudian Pasal 40 huruf c KHI menegaskan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 44 KHI bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Selain itu, Fatwa MUI 4/2005 juga menegaskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah (hal. 477).

Regulasi Pemerintah

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait pernikahan beda agama. SEMA 2/2023 tersebut diterbitkan, pada 17 Juli 2023 sebagai petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama dan kepercayaan.

Dalam SE tersebut, dijelaskan bahwa para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
  2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Isi SEMA Nomor 2 tahun 2023 itu adalah melarang hakim untuk mengabulkan permohonan pernikahan beda agama. Pelarangan tersebut merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Berdasarkan kedua pasal tersebut menegaskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Adanya SEMA tersebut diapresiasi banyak pihak, salah satunya adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menurut Ma’ruf, tidak lagi ada perdebatan mengenai pernikahan beda agama. Sebab, MA telah memutuskan melarang pencatatan pernikahan beda agama.

Tantangan Implementasi

Meskipun regulasi pemerintah telah ada, implementasinya masih dihadapkan pada beberapa tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari beberapa pihak yang mungkin memandang pernikahan beda agama sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dan budaya tertentu. Selain itu, proses administratif yang rumit dan birokratis juga dapat menjadi hambatan bagi pasangan yang ingin menikah antaragama.

Dengan demikian, dampak pernikahan beda agama adalah tidak dapat dicatatkan karena jika diajukan ke pengadilan, hakim tidak dapat dikabulkan permohonan pencatatan perkawinannya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *